Senin, 08 Desember 2014

Stop! Menyalahkan Modernisasi

Oleh: Kiki Rizky Virliana (25214892)

1EB42
(Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Kampus K, Universitas Gunadarma)


Pendahuluan
Apakah yang anda ketahui tentang kata ‘modern’? apakah yang akan terbersit di pikiran anda saat anda mendengar atau membaca kata ‘modern’? berbasis tekhnologi, canggih, masa kini, terbaru, atau ‘kebarat-baratan’ mungkin adalah salah satu jawaban anda atau mungkin kesemuanya itu adalah persepsi anda tentang kata ‘modern’. Saya tidak akan bilang anda salah. Tapi apabila anda masih memiliki konsep dan mind set tentang kata ‘modern’ seperti itu berarti jawaban untuk pertanyaan pertama, apakah yang anda ketahui tentang kata ‘modern’, adalah anda belum benar-benar mengetahui, terlebih memahami, hakikat kata ‘modern’ yang sesungguhnya.
Era yang serba ‘modern’, seolah arti dari pernyataan tersebut adalah menggambarkan keadaan hidup manusia saat ini. Dengan berbagai macam tekhnologi canggih dan kemudahan serta kepraktisan yang ditawarkannya. Atau jika anda sudah hidup dengan cara seperti kebanyakan orang-orang di belahan dunia Amerika, Eropa, atau Australia berarti anda sudah menjadi ‘modern’. Jika anda juga menyukai apa yang orang-orang dari belahan benua tersebut di atas sukai, berarti anda sudah ‘modern’ dan jika anda sudah menjadi seseorang yang hidup dengan ‘modern’ akan ada suatu kebanggaan dalam diri anda. Inilah yang berbahaya karna hanya akan menimbulkan suatu kesalah pahaman.
Sudah kita tahu bahwa kebudayaan di sisi barat dengan kebudayaan di sisi timur bagaikan dua sisi mata koin yang saling berlawanan. Sisi barat yang cenderung lebih ‘bebas’ dan sisi timur yang cenderung lebih ‘ketat’ dengan norma dan nilai kebudayaannya. Saat dunia seolah tidak lagi memiliki batasan dan jarak akibat adanya kemajuan peradaban manusia dan ilmu pengetahuan yang didukung oleh globalisasi, transfer budaya pun tak dapat kita hindari.
            Lalu pertanyaannya sekarang adalah, apakah pengaruh itu semua dengan bangsa kita Indonesia dan dengan ‘kesalah pahaman’ yang saya singgung di atas? Pertama mari kita ibaratkan Indonesia sebagai remaja yang sedang berkembang dan mencari role model untuk bisa membentuk jati dirinya. Indonesia yang masih perlu banyak belajar, di era ‘modern’ ini akan cenderung mencari contoh dan meniru negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu maju dalam usahanya untuk berbenah, daripada menghidupkan kembali siapa itu Indonesia yang ‘sesungguhnya’ di zaman kejayaannya dulu. Karna melihat apa yang di depan mata akan lebih mudah daripada mempelajari sejarah yang ada. Lalu ditengah proses pengadaptasian nilai-nilai positif ini, sayangnya, dengan adanya globalisasi dan internet dan sebagainya, nilai-nilai negatif yang tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia pun akan ikut tercampur didalamnya.
            Masuknya nilai-nilai asing ke Indonesia tak jarang membuat kebingungan ditengah-tengah kita. Kebingungan yang saya maksud disini adalah, kita masih belum bisa membedakan mana nilai yang seharusnya kita adaptasi sebagai pedoman untuk berbenah diri dan mana nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan seharusnya tersaring oleh nilai-nilai yang tercantum dalam butir Pancasila. Lagi-lagi itu semua terjadi karna paradigma kebanyakan masyarakat Indonesia mengenai kata ‘modern’ yang salah. Karna masih banyak yang menganggap bahwa untuk bisa menjadi ‘modern’ kita harus hidup layaknya orang-orang Amerika atau Eropa sepenuhnya. Karna menurut kita apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang keren yang perlu diikuti. Kita seolah tak peduli lagi tentang menghidupkan siapa Indonesia yang sesungguhnya karna termakan oleh paradigma kata ‘modern’ yang salah itu.
            Paradigma yang salah ini lah yang membuat seolah-olah degradasi moral, penyimpangan sosial, pelunturan nilai-nilai dan budaya asli bangsa semua terjadi karna disebabkan adanya kata “modern” + isasi atau yang kita kenal sebagai modernisasi dan juga oleh globalisasi. Kita banyak menyalahkan modernisasi ataupun globalisasi akan banyaknya kekacauan di negeri ini, akan gaya hidup kebanyakan masyarakat Indonesia yang tidak lagi mencerminkan Pancasila. Padahal tahukah anda jika sebenernya modernisasi sudah terjadi bahkan dari sebelum peradaban manusia itu ada? Tahukah anda bahwa yang perlu anda lakukan untuk benar-benar membenahi negeri ini adalah bukan dengan menghindari modernisasi, tapi merubah paradigma anda mengenai modernisasi itu sendiri?

 Modern + isasi
“Modernisasi” adalah sebuah kata yang sudah tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia maupun dunia. Berasal dari bahasa latin yaitu modo yang berarti ‘cara’ dan ernus yang berarti ‘masa kini’. Sehingga jika kita artikan secara bahasa, modernisasi berarti cara untuk menjadi masa kini. Itu berarti masyarakat yang sedang melakukan modernisasi akan mendapatkan ciri-ciri atau karakteristik yang dimiliki oleh suatu masyarakat yang modern. (Idianto Muin, 2007)
Lalu jika kita mempreteli kata modernisasi ini berdasarkan Bahasa Indonesia, kita akan mendapatkan modernisasi terdiri dari satu kata dasar yaitu ‘modern’ dan satu imbuhan akhiran yaitu –isasi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Terbaru dijelaskan bahwa kata modern memiliki arti; yang terbaru, secara baru, mutakhir (Siswo Prayitno Hadi Podo, dkk, 2013). Sedangkan imbuhan akhiran –isasi yang menyertainya memiliki fungsi untuk menandai kata benda yang memiliki makna ‘proses’ (Anna Nurlaila Kurniasari, 2014). Itu berarti dalam pemahaman Bahasa Indonesia modernisasi adalah proses menuju ke hal-hal baru atau mutakhir.
 Ada satu hal yang perlu saya tegaskan disini. Memang kata ‘modern’, seperti yang telah disinggung di dua paragraf sebelumnya, selalu mengacu pada kata baru, masa kini, ataupun canggih. Namun sadarkah anda bahwa kata-kata tersebut bisa membuat anda salah persepsi jika anda hanya menelannya mentah-mentah? Kata baru, masa kini, ataupun canggih bersifat relatif. Tergantung pada kapan kita menggunakan kata tersebut. Mungkin di tahun 2014 ini kata-kata tersebut identik dengan alat-alat elektronik serba smart atau alat transportasi serba cepat dan sebagainya. Tapi bagaimana jika kita menggunakan kata-kata tersebut di masa sebelum abad 20? Atau di zaman prasejarah? Tentulah kata canggih dan lainnya itu akan berbeda maknanya.
Dari penjelasan singkat ini sudah bisakah anda meletakkan kesalahan persepsi anda tentang kata modernisasi selama ini? Jika belum mari kita bahas pengertian modernisasi menurut beberapa ahli dan syarat-syarat modernisasi. Contohnya pengertian modernisasi menurut Wilbert E. Moore (Soekanto, 1990:384) yang mengatakan modernisasi adalah suatu proses transformasi total kehidupan bersama dalam bidang tekhnologi dan organisasi sosial dari kehidupan yang tradisional ke arah pola-pola ekonomis dan politis. Sedangkan menurut Soerjono Soekamto modernisasi adalah perubahan sosial yang terarah dan terencana (social planning).  Cakupan modernisasi sangatlah luas, semua hal yang terbarukan dalam dinamika masyarakat, itulah modernisasi. Namun aspek yang paling utama adalah perkembangan iptek (gejala alam, mekanisasi dalam sistem pertanian, dan lain-lain) (Idianto Muin, 2007).
Untuk bisa melakukan modernisasi sebuah Negara atau kelompok masyarakat haruslah memiliki minimal salah satu syarat-syarat modernisasi diantaranya yaitu cara pikir yang ilmiah dan melembaga, sistem administrasi Negara yang baik, kedisiplinan tinggi, menghargai HAM, teratur, terorganisir, dan memiliki kesamaan cara pandang tentang perubahan. (Idianto Muin, 2007)
Contoh modernisasi diantaranya dalam bidang agama Al-Qur’an yang semakin canggih dengan fitur-fiturnya yang semakin memudahkan kita untuk belajar Al-Qur’an. Lalu di bidang perekonomian jika dulu dalam berjualan kita harus bertatap muka dengan pembeli, sekarang dengan adanya istilah e-commerce[1] kita bisa menjual barang atau jasa kita lewat internet. Lalu di bidang politik, jika dulu dikenal adanya istilah monarchy absolute dalam sistem pemerintahan, sekarang sistem yang digunakan adalah sistem demokrasi yang mempertimbangkan juga suara rakyat. Contoh modernisasi lain dalam bidang perpajakan pun telah diberlakukan untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak agar lebih patuh dalam melaksanakan kewajibannya membayar pajak. Dengan menerapkan sistem administrasi perpajakan modern berupa penyempurnaan atau perbaikan dari kinerja, baik secara individu, kelompok, maupun kelembagaan agar lebih efisien, ekonomis dan cepat yang merupakan bentuk dari reformasi administrasi perpajakan. (Rindi Lestari Suci Sofiyana;dkk, 2013). Pelayanan prima dan pengawasan intensif dengan dilaksanakannya good governance merupakan dasar dan konsep dari modernisasi sistem administrasi perpajakan (Pandiangan, 2008:9). Pendapat Rahayu (2010:135) yang menyatakan “bahwa awal tahun 2003 dibentuk Tim Modernisasi Administrasi Perpajakan Jangka Menengah yang bertujuan untuk menyusun administrasi perpajakan modern dengan sasaran diantaranya tercapainya tingkat kepatuhan sukarela wajib pajak yang tinggi, tercapainya tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi, tercapainya produktivitas aparat perpajakan yang tinggi. Sehingga diharapkan penerimaan pajak akan meningkat.
 Itulah hakikat modernisasi, membawa perubahan ke arah positif dalam kehidupan masyarakat.
Namun di dalam sebuah proses ‘pendewasaan’ sangat lah wajar jika kita menemukan segelintir masalah. Modernisasi yang terjadi, jika tidak dibarengi oleh kesiapan masyarakat dan minimnya pengetahuan masyarakat itu sendiri, walaupun bermaksud positif bisa menimbulkan satu atau dua masalah di dalam suatu  kelompok masyarakat. Seperti ketimpangan sosial, demonstrasi, dan disintegrasi sosial.[2]. Masyrakat yang bisa mengikuti lajunya perubahan dan modernisasi akan berhasil dan survive dalam masyarakat, namun masyarakat yang memiliki pengetahuan minim dan ketidaksiapan ini lah yang perlu diantisipasi sehingga pernyataan “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” tak lagi terjadi khususnya di Indonesia. Namun bukan berarti kita harus melulu menyalahkan modernisasi akan masalah-masalah tersebut. Yang perlu dilakukan oleh masyarakat adalah menyiapkan diri dalam menghadapi segala macam perubahan yang ada dan sadar bahwa kehidupan manusia akan selalu bergerak maju dan dinamis. Kita harus bisa dengan bijak menyikapi setiap perubahan yang ada. Menyaring nilai-nilai sosial yang masuk ke dalam diri bangsa sehingga apapun perubahan dan permasalahannya tidak akan menghilangkan jati diri bangsa itu sendiri.

Global  + isasi
Lalu apakah yang dimaksud dengan globalisasi? Apakah modernisasi dan globalisasi adalah 2 hal yang sama? Jawaban dari pertanyaan terakhir adalah tidak. Di masa sekarang, modernisasi dan globalisasi adalah 2 hal yang saling berkaitan dan memiliki cakupan yang sama, namun keduanya memiliki pengertian yang berbeda.
Globalisasi adalah proses masuknya ke ruang lingkup dunia (Siswo Prayitno Hadi Podo, dkk, 2013). Saat era globalisasi terjadi seolah jarak dan perbatasan  antar wilayah dan Negara tidak lagi ada. Seolah seluruh dunia kembali menjadi satu. Kita bisa berhubungan dan saling bertukar informasi dengan mudah dan cepat. Tiap Negara di dunia bisa saling menjalin kerja sama untuk kepentingan rakyatnya. Seperti kerja sama yang dilakukan oleh Negara-negara se Asia Tenggara dalam ASEAN ataupun kerjasama antar Negara-negara di dunia dalam PBB.
Dan tidak bisa dipungkiri bahwa globalisasi adalah salah satu faktor penting terjadinya modernisasi di suatu Negara. Contohnya Indonesia, bila Negara kita menutup diri dari berhubungan dengan Negara lain seperti yang dulu pernah dilakukan oleh Uni Soviet, maka sudah pasti Indonesia akan semakin tertinggal. Karena walaupun manusia memiliki kemampuan merubah dan meningkatkan dirinya dan lingkungannya, tapi tanpa berhubungan dengan manusia lain kita tak akan bisa mengembangkan diri kita, begitu juga dengan Negara. Lalu dari semua ini bisakah anda mengambil kesimpulan apa perbedaan dari modernisasi dan globalisasi sekarang?

      Terjadi Sejak Zaman Prasejarah
            Proses pembaruan ke keadaan masa kini yang terjadi akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia di tiap zamannya mengakibatkan modernisasi dan globalisasi terjadi. Itu berarti sangatlah benar jika kita beranggapan bahwa modernisasi dan globalisasi sudah terjadi sejak zaman dulu. Hanya saja pengertian ‘modern’ dan ‘global’ pada masa itu tentulah berbeda. Keadaan dimana pertama kali manusia belum mengenal tulisan hingga akhirnya mereka menemukan cara untuk berkomunikasi dengan gambar dan simbol yang mereka tuliskan di dinding-dinding gua. Atau proses yang dilalui manusia purba dulu dalam memperbarui sistem mata pencaharian mereka. Dimulai dari berburu dan meramu- beternak- bercocok tanam di ladang- menangkap ikan- bercocok tanam menetap dengan irigasi (Koentjaraningrat, 2007). Dari setiap kemajuan dan proses-proses itu sudah bisa dipastikan modernisasi terjadi bukan di abad ini saja, tapi terjadi sejak zaman dulu bahkan sebelum peradaban ditemukan.
            Begitu juga dengan globalisasi, telah terjadi sejak manusia mulai menemukan cara untuk pergi mengarungi lautan hingga mereka sampai di tempat-tempat lain yang sebelumnya belum pernah mereka ketahui serta kemampuan mereka untuk menyebar luaskan apa yang mereka miliki dan percaya kepada bangsa lain. Contohnya adalah penyebaran agama Islam yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab, penjajahan bangsa Eropa dan Jepang, dan lain-lain. Dari kesemua hubungan itu membawa dampak perubahan sosial di tengah masyarakat Indonesia yang berujung pada modernisasi atau perkembangan peradaban di Indonesia.
            Sampai kapan pun modernisasi dan globalisasi akan terus terjadi. Proses yang telah terjadi bahkan dari sejak zaman prasejarah ini akan terus teradi seiring dengan perkembangan  ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Namun sampai kapanpun, modernisasi dan globalisasi akan memiliki makna yang sama. Baik di masa lampau, masa kini, ataupun masa depan. Ilmu sosial yang dikembangkan dalam membahas modernisasi dan globalisasi ini pun pada akhirnya akan menemukan ujung yang sama. Modernisasi adalah proses pembaruan, dan globalisasi adalah proses untuk masuk ke dalam ruang lingkup dunia. Walaupun seiring berjalannya waktu teori yang menerangkan tentang 2 hal ini akan berbeda. Namun sampai kapan pun ilmu tidak akan pernah berubah, yang berubah hanya teori yang menyertainya. (Fahmi Basya, 2013) karena disesuaikan dengan keadaan masyarakat dan bagaimana kata ‘modern’ dan ‘global’ pada masa itu diartikan
            Jadi jika anda masih menganggap bahwa modernisasi dan globalisasi yang terjadi adalah hanya terjadi setelah datangnya abad 20, identik dengan “ke-kinian” dan yang menjadi penyebab utama terjadinya degradasi moral atau penurunan moral generasi muda bangsa, saya harap anda menghilangkan pikiran itu. Karena pada kenyataannya modernisasi dan globalisasi lah yang membawa kita, masyarakat dunia, kepada peradaban hari ini. Saya yakin, jika kita lebih bijak menyikapi modernisasi dan globalisasi maka kita tidak perlu mengkhawatirkan bangsa akan kehilangan identitas aslinya, kita tak perlu khawatir pemuda-pemudi Indonesia akan melupakan siapa dirinya yang sesungguhnya.

Westernisasi dan Proses Belajar yang Salah
Pernahkah anda mendengar istilah westernisasi sebelumnya? Westernization atau Westernisasi adalah sebuah kata yang diambil dari Bahasa Inggris western yang berarti ‘barat’ dan ditambah akhiran –isasi yang memiliki makna ‘proses’ sehingga westernisasi adalah proses masuknya kebudayaan barat (Wasino, 2012) atau proses pengambilalihan unsur-unsur kebudayaan secara membabi buta tanpa melalui proses pertimbangan apakah unsur-unsur kebudayaan barat ini seiring dengan kultur bangsa atau tidak. (Elly M. Setiadi & Usman Kolip, 2010)
Masih banyak orang yang menyalah artikan modernisasi dengan westernisasi, itulah kesalahan terbesarnya. Dari segi definisi, modernisasi dan westernisasi adalah 2 hal yang sangat berbeda. Di dalam westernisasi, semua hal yang masuk ke dalam diri suatu bangsa ditelan mentah-mentah tanpa ada penyaringan apapun. Westernisasi inilah yang menjadi penyebab adanya degradasi moral, pelunturan moral, pelanggaran sosial, dan lainnya marak terjadi.
Bangsa Indonesia sebagai bangsa dan Negara yang masih berkembang sampai saat ini masih memiliki sifat self-effachment[3] yang harus mulai dihilangkan. Kita masih beranggapan bahwa orang berkebangsaan asing itu lebih baik dari kita, bahwa kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka, dan bahwa mereka patut didewakan atas keberhasilan Negara mereka. Padahal Kleinknecht, dkk telah mencoba membandingkan barat (diwakilkan dengan USA) dan timur (diwakilkan dengan Jepang). Dalam aspek afeksi, penelitian ini menunjukkan bahwa barat dan timur tidak banyak berbeda dari afek positif, bahkan lebih banyak timur. Di sisi lain, barat dan timur memiliki perbedaan signifikan dalam aspek negative, yang lebih banyak pada sisi barat (Sarlito W. Sarwono, 2014)
Ketidak pahaman dan sifat self-effachment  inilah yang menjadi api dari westernisasi. Ditengah ketidak percaya dirian bangsa Indonesia, bangsa Indonesia merasa perlu untuk mengadaptasi nilai dan gaya hidup orang-orang barat khususnya. Alkohol, narkoba, sex bebas, aborsi, norma kesopanan yang turun drastis adalah segelintir permasalahan moral yang dialami bangsa kita akibat kita menyalah artikan modernisasi dengan westernisasi. Banyak dari kita yang berpikiran, jika kita sudah memiliki gaya hidup layaknya orang-orang barat itu berarti kita sudah ‘modern’. Padahal jika kita ingin menjadi ‘modern’ seperti layaknya orang-orang barat itu, bukan kebebasan merekalah yang seharusnya kita contoh. Melainkan sifat disiplin, rajin, cinta ilmu pengetahuan dan mandiri merekalah yang harus kita contoh.
            Memang perlu dicarikan arti ‘modern’ bagi tiap bangsa agar kebudayaan dan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu bangsa tidak luntur (Elly M. Setiadi & Usman Kolip, 2013) dan agar masyarakat tak lagi salah mengartikan modernisasi dengan westernisasi. Seperti layaknya Jepang, mereka bisa memaknai modernisasi dengan benar sehingga di tengah kemajuan yang mereka miliki mereka tak mematikan nilai dan kebudayaan mereka.
            Pemahaman tentang arti kata modern yang salah dapat berdampak juga pada proses belajar yang salah pada generasi penerus. Jika kita masih terus menyalah artikan modernisasi dan terlalu mendewakan budaya barat, maka sampai kapanpun westernisasi akan terus menjadi ancaman terbesar bangsa. Dalam proses sosialisasi dan enkulturasi, orang tua adalah agen terpenting yang paling berpengaruh sebelum teman, lingkungan sekolah dan media massa (penelitian Mead, 1975 dalam Matsumoto dan Juang, 2004). Jika orang tua sejak kecil sudah menanamkan kepada anak-anaknya nilai-nilai yang mendewakan orang-orang barat, maka sampai kapanpun si anak akan terus memegang kepercayaan itu. Namun, yang berperan  dalam pembentukan kepribadian seorang anak bukan hanya orang tua semata. Saat seorang anak sudah melewati masa kanak-kanak dan masuk ke dalam lingkungan sekolah dan masyarakat, paradigma yang tumbuh dalam masyarakat akan mempengaruhi sosialisasi dan pembentukan kepribadian anak.
            Maka perlu perhatian dari semua pihak agar westernisasi tak terus terjadi dan membawa ancaman besar bagi bangsa. Agar kita bisa menghidupkan Indonesia yang sesungguhnya. Dan agar kita bisa menjadi Negara ‘modern’ dalam arti yang sesungguhnya.

Simpulan
            Modernisasi dan globalisasi adalah suatu proses yang sebenarnya sudah terjadi sejak zaman prasejarah dulu. Sejak manusia mulai memperbarui setiap aspek kehidupannya, dan sejak manusia mulai menemukan cara untuk menembus samudra sehingga mereka bisa sampai ke daratan lain. Sehingga salah jika kita menganggap bahwa modernisasi dan globalisasi adalah hal yang identik dengan abad 20. Hakikatnya, modernisasi dan globalisasi adalah proses yang bertujuan untuk memajukan peradaban manusia, bukan merusak. Walaupun dalam prakteknya pasti akan ditemukan masalah-masalah yang dikarenakan adaptasi masyarakat atas segala perubahan sosial yang terjadi. Tapi kita sebagai manusia beradab dan berbudaya seharusnya bisa menyikapi perubahan tersebut dengan bijak sehingga kita tidak salah mengartikan modernisasi dengan westernisasi, dan sehingga kita tidak lagi menyalahkan modernisasi atas degradasi dan krisis moral yang menjadi salah satu ancaman besar bagi bangsa ini.
            Westernisasi adalah pengambilan nilai-nilai bangsa barat tanpa ada pemfilteran yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia sendiri. Akibat ketidak pahaman kita terhadap konsep ‘modern’ yang sesungguhnya, maka banyak dari kita yang berpikir bahwa untuk bisa hidup ‘modern’ kita harus memiliki gaya hidup layaknya orang barat. Padahal hakikat modernisasi yang sesungguhnya adalah kemajuan peradaban manusia untuk kemudahan manusia itu sendiri. Bukan penghilangan nilai dan budaya asli yang dianggap ‘kuno’ atau alot.
            Maka perlu perbaikan mind set bangsa agar kita tak lagi menyalah artikan modernisasi. Kita perlu menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dan religi untuk menyaring kebudayaan apapun yang masuk, agar hanya nilai positif bangsa asing sajalah yang diterima oleh anak-anak bangsa. Agar generasi penerus bangsa memiliki kepribadian sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Dibutuhkan perhatian semua pihak agar westernisasi tidak terus berkembang di tengah bangsa kita. Agar Bangsa Indonesia bisa menjadi Negara maju tanpa harus menghilangkan jati dirinya, seperti layaknya Negara Jepang.

Daftar Pustaka  
Basya, F. (2013). Bumi Itu Al-Quran. Jakarta: Zahira.

Hamid, D., Riza, M.F, & Sofiyana, R.L.S. (2014). Pengaruh Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu. Vol 1, No 3, http://perpajakan.studentjournal.ub.ac.id/index.php/perpajakan/article/view/53, diakses pada 8 Desember 2014

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kurniasari, A. N. (2014). Sarikata Bahasa dan Sastra Indonesia Super Komplet. Jakarta: Dafa Publishing.

Muin, I. (2007). Sosiologi Jilid 3 Untuk SMA/MA Kelas XII. Jakarta: Erlangga.

Podo, S. P., & dkk. (2013). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Terbaru. Jakarta: PT Media Pustaka Phoenix.

Sarwono, S. W. (2014). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Setiadi, E. M., & Kolip, U. (2010). Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta, dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenamedia Group.

Wasino. (2012). Modernisasi Pemerintahan Praja Mangkunagaran Surakarta. Vol. 22, No. 1, http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/article/view/1842, diakses pada 8 Desember 2014

 







[1] perdagangan yang dilakukan secara elektronik
[2] Perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya dalam masyarakat
[3] Merendahkan diri yang berlebihan.

0 komentar:

Posting Komentar